Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Mempersembahkan " Deklarasi & Seminar Nasional " Slideshow: KOMPA’s trip to Jakarta, Java, Indonesia was created by TripAdvisor. See another Jakarta slideshow. Create a free slideshow with music from your travel photos.

Welcome to KOMPA JAYA...! Bek Tuoe ? tinggalkan komentar anda...

Rabu, 04 Mei 2011

BERITA

Saturday, 12 November 2011 22:00 Written by RILIS
Aksi Menuntut Tunda Pilkada Aceh | Dok/Thetajehpost
 JAKARTA - Pilkada Aceh harus tetap dalam bingkai perdamaian dan berpihak rakyat karena masyarakat harus mendapatkan ruang berdemokrasi dan bebas menentukan pilihan politik sesuai nurani masing-masing.
Pernyataan ini dilontarkan Azwir Nazar, pengamat komunikasi politik dalam diskusi politik dan pilkada di Jakarta, Sabtu (12/11). "Karena demokrasi adalah milik seluruh rakyat Aceh. Bukan saja menjadi konsumsi elit," ujar Azwir dalam rilis yang dikirim Komunitas Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jakarta Raya atau Kompajaya kepada redaksi The Atjeh Post.
Menyinggung soal penundaan pilkada, menurut mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia jika harus ditunda dan penunjukan Pj (Penjabat) gubernur harus independen, dan sebaiknya dari kalangan profesional.
"Yang mengerti persoalan Aceh, terutama menyangkut tahapan-tahapan pilkada. Sehingga kehadirannya dapat menjadi penyejuk hati masyarakat, mampu merangkul semua perbedaan. Hal ini penting supaya pilkada berlangsung kondusif, dan pembangunan Aceh menjadi lebih baik," ujar Azwir.
Menurut dia, penunjukkan Pj bukanlah transaksi politik, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. "Presiden atau pihak terkait harus arif dan bijak dalam menentukan seorang Pj. Pertimbangannya bukanlah "setoran". Rakyat Aceh butuh penyejuk dan pemersatu. Jangan pecah belah rakyat,” kata Azwir.
Di sisi lain, kata Azwir, penundaan pilkada sedikit banyak akan merubah peta dan konstelasi politik di Aceh. Apalagi dengan bertambahnya pasangan calon  pasca putusan sela MK mengenai diperpanjangnya masa pendaftaran calon.
"Lagi pula, kalau pilkada ditunda, maka semua calon posisinya akan sama. Tinggal bagaimana kandidat menyusun strategi pemenangan dan membangun kerja-kerja politik di lapangan."
Selain Azwir, juga hadir sebagai pembicara Teungku Hamdani Hamid dari World Achehnese Association, yang berdomisili di Kanada.
Menurut Hamdani, demokrasi Aceh masih dalam tahapan belajar karena baru keluar dari konflik panjang. “Memang butuh waktu untuk berdemokrasi dan psikologi masyarakat Aceh masih terngiang konflik,” ujar Teungku Ham, panggilan akrab Hamdani Hamid.
Hamdani mengatakan, faktor pemerataan ekonomi juga menjadi indikator penting agar demokrasi Aceh bisa maju dan berkembang. "Karena kita berhadapan dengan situasi masyarakat yang memiliki kebutuhan hidup sehari-hari."
Diskusi bertema Pilkada Aceh yang bersih, damai dan bermartabat itu dimulai pukul 15.00 WIB hingga 17.45 WIB. Hadir mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta.
"Ini merupakan diskusi rutin bulanan yang diadakan Kompajaya” ujar Harianto Arbiye, ketua panitia. Kompajaya adalah sebuah organisasi mahasiswa dan pemuda Aceh di Jakarta yang dibentuk dengan tujuan sebagai wadah silaturahmi antar mahasiswa Aceh.[]

Sumber : http://atjehpost.com/nanggroe/politik/8669-penunjukan-pj-jangan-jadi-transaksi-politik.html


Uni Eropa: Jaga Damai Aceh
Kamis, 15 September 2011 15:09 WIB
BANDA ACEH - Uni Eropa melalui perwakilannya di Aceh berharap semua pihak dan  elemen masyarakat Aceh untuk terus menerus menjaga perdamaian yang telah hadir dan dibina bersama-sama selama ini.

Harapan itu diutarakan mantan Kepala Europe House Aceh, Jhon Penny dalam pertemuan dengan Pemangku Wali Nanggroe Teungku Malik Mahmud dan para petinggi PA/KPA, di Mess Meuntroe, Banda Aceh, serta dengan Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar, di ruang Kantor Gubernur Aceh, Selasa (13/9). 

Dalam kedua pertemuan itu, Jhon Penny hadir bersama Giovanni Serritella yang akan menggantikan posisinya sebagai Kepala Uni Eropa di Aceh. Di kedua pertemuan itu pula, Jhon Penny menyampaikan program-program yang telah dilaksanakan Uni Eropa di Aceh, serta berharap dukungan penuh terhadap kelanjutan program-program yang sedang dan akan dijalankan.

Jubir Partai Aceh, Fachrul Razi kepada Serambi kemarin menyampaikan, dalam kunjungannya ke Mess Meuntroe di kawasan Geuceu, Banda Aceh, Jhon Penny berpesan agar perdamaian Aceh dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan.  “Jhon Penny juga melaporkan kepada Pemangku Wali tentang program yang telah dilaksanakan di Aceh. Jhonn Penny juga berharap MoU Helsinki dan UUPA dapat diimplementasikan agar perdamaian di Aceh dapat langgeng dan abadi,” kata dia.

Selain Malik Mahmud, turut hadir Dr Zaini Abdullah, Muhammad Yahya (Sekjen Partai Aceh), Muzakir Hamid, Fachrul Razi (Jubir PA), dan Ketua Departemen Pendidikan Partai Aceh Nur Zahri.

Bertemu Wagub
Harapan agar rakyat Aceh terus memelihara perdamaian juga diungkap Jhon Penny dalam pertemuan dengan Wagub Aceh, di Kantor Gubernur Aceh, demikian diberitakan siaran pers Humas Setda Aceh yang diterima Serambi via surat elektronik (email), Selasa (13/9).

Dalam kesempatan itu John Penny yang berasal dari Prancis dan sudah 4 tahun  bertugas di Aceh mohon pamit menyusul berakhirnya masa tugasnya di Aceh sekaligus memperkenalkan Kepala Europe House Aceh yang baru, Giovanni Serritella asal Italia.

Secara khusus, Penny menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Aceh yang selama ini telah banyak membantu pihak UE dalam menjalankan berbagai program di Aceh. “Meskipun dalam kondisi dan situasi yang rumit dan sulit namun semua bisa berjalan dengan lancar,” kata dia seperti dikutip Humas Setda Aceh.

Ia juga menyatakan kekagumannya dengan program beasiswa yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, seraya menceritakan pengalaman saat mereka bertemu dengan mahasiswa Aceh yang sedang belajar di Jerman.

Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar juga menyampaikan terima kasih kepada Jhon Penny atas perannya selama 4 tahun bertugas di Aceh. Kepada Kepala Europe House yang baru, Wagub berharap agar program yang sedang dilakukan dapat terus berlanjut.(nal/rel) sumber : http://aceh.tribunnews.com/2011/09/14/uni-eropa-jaga-damai-acehEditor : bakri
 Pesona Aceh dalam Seminar di Leiden
Rabu, 14 September 2011 11:27 WIB

 

SEPTEMBER menandai tibanya musim gugur di kawasan Eropa. Angin menderu-deru di sini, bagaikan tari penyambut kedatangan. Namun, lelah belum juga usai setelah perjalanan panjang dengan rute Banda Aceh-Jakarta-Dubai-Amsterdam.  Saya menjejakkan kaki di Schipol, bandara Amsterdam yang merupakan salah satu airport tersibuk di dunia.

Dua perhelatan akademik membawa saya kembali ke negeri bekas penjajah ini. Acara pertama adalah memenuhi undangan Leiden University Center for the Study of Islam and Society (LUCIS). Lembaga kajian studi kawasan yang sangat berpengaruh di Belanda tersebut menyelenggarakan seminar internasional tentang Aceh dengan dengan tema “Islam in Contemporary Aceh: Reconfigurations of Ritual, Doctrine, Community, and Authority”. Seminar sehari pada 12 September 2011 itu dihadiri sejumlah pakar dan peneliti yang menaruh perhatian khusus terhadap Aceh.

Dari list registrasi peserta tercantum nama peserta dari Belanda, Indonesia, Prancis, Australia, Jerman, Singapura, dan Amerika Serikat. Para pemakalah yang diundang untuk mempresentasikan penelitian terbaru mereka tentang Aceh, antara lain: Michael Feener (NUS, Singapore), Annemarie Samuels (Leiden University, the Netherlands), David Kloos (Vrije University Amsterdam), Daniel Andrew Birchok (University of Michigan, USA), Reza Idria (IAIN Ar-Raniry Banda Aceh), Eka Srimulyani (IIAS, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh), Kristina Grossman (Goethe-Universitat Frankfurt, Germany), dan Arskal Salim (Aga Khan University, London). Sejumlah ahli kajian Indonesia modern seperti Andree Feillard, Martin van Bruinessen, Nico Kaptein, dan Kees van Dijk juga mengambil peran dalam seminar tersebut.

Direktur LUCIS, Profesor Leon Buskens, memberi pengantar mengenai seminar khusus yang bertema Aceh dan Islam di Universitas Leiden itu. Professor Leon menegaskan ada empat lapangan penelitian yang sangat menarik terkait Aceh, yakni kajian sejarah, kajian bahasa dan filologi, kajian hukum Islam, dan kajian etnografi. Empat lapangan studi tersebut memiliki satu tautan penting dan tak bisa dipisahkan dari pengetahuan tentang Islam yang kaya dan beragam, hal yang membuat Aceh menempati posisi tersendiri dibanding dengan kawasan lain di Asia Tenggara.

Acara kedua, 13 September 2011, adalah farewell symposium untuk menghormati pensiunnya Kees van Dijk, sejarawan termasyhur Belanda yang sejak tahun 1985 menduduki kursi profesor kajian Islam dalam sejarah Indonesia modern di Universitas Leiden.

Simposium perpisahan untuk Profesor Van Dijk dirayakan melalui ceramah dan seminar tentang kajian pendidikan di Indonesia. Sejumlah pemakalah dari berbagai negara juga diundang untuk hadir pada acara tersebut, terutama para mahasiswa yang pernah dia bimbing. Kees van Dijk selain menjadi profesor di Leiden juga seorang peneliti senior di KITLV, lembaga milik kerajaan belanda yang menjadi acuan ilmuwan sosial dunia bagi kajian Asia Tenggara dan Amerika Selatan.

Kees van Dijk melakukan penelitian tentang anatomi Darul Islam dan menjadikan karyanya Rebellion under the Banner of Islam sebagai monografi monumental tentang pemberontakan kaum revolusioner Islam terhadap republik Indonesia di tahun 1950-an, termasuk di Aceh. Boleh dibilang, Kees van Dijk adalah legenda hidup tentang sejarah modern Indonesia. (*) http://aceh.tribunnews.com/2011/09/14/pesona-aceh-dalam-seminar-di-leiden

Syiar Islam di Aceh Makin Pudar

Oleh: Aulia Fitri - 12/06/2011 - 16:11 WIB
JAKARTA | ACEHKITA.COM – Pakar hukum pidana asal Aceh T. Nasrullah menilai penyebaran syiar Islam di Aceh mulai berkurang. Ditambah lagi dengan tidak maksimalnya pelaksanaan syariat Islam di provinsi bekas konflik itu.
Berkurangnya syiar Islam, menurut Nasrullah, karena hampir 30 tahun masyarakat Aceh hidup dalam kondisi konflik. Syiar Islam yang menurut Nasrullah mulai memudar seperti pengajian dan salat berjamaah di meunasah.
“Masyarakat Aceh mengalami trauma. Dulu anak-anak, habis salat Maghrib bisa ikut pengajian, tapi pas konflik seua itu sirna dan menyimpan trauma,” kata Nasrullah dalam seminar tentang syariat Islam yang digelar Komunitas Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jakarta Raya di Gedung Juang 45, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/6).
Karena itu, Nasrullah mengajak pemimpin dan masyarakat Aceh untuk kembali meningkatkan penyebaran syiar Islam. Apalagi Aceh kini sudah memasuki fase damai, setelah Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangi perjanjian damai pada 2005 lalu.
Nasrullah juga menambahkan, bahwa saat ini apa yang terjadi di Aceh dengan pemberlakuan syariat Islam tidak lepas dari politik hukum. “Hal ini jauh berbeda dengan hukum politik yang sering membuat orang bingung”, jelasnya pada ratusan mahasiswa dan masyarakat yang hadir.
Acara yang digagas oleh Kompa Jaya ini juga sebelumnya diisi dengan pelantikan dan pengukuhan kepengurusan yang baru terbentuk untuk periode 2011-2014.
“Komunitas mahasiswa Aceh di Jakarta ini diharapkan mampu memaksimalkan perannya ditengah masyarakat serta menjadi pembawa perubahan bagi masyarakat Aceh yang lebih baik,” ungkap inisiator Kompa Jaya, Denni Arie Mahesa dalam kata-kata sambutannya.
Selain itu, dalam rangkaian seminar yang mengangkat tema “Penerapan Syariat Islam ditinjau dari Persepektif Budaya dan Hukum Nasional” juga turut dihadiri oleh pembicara dari Aceh langsung, seperti Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Rusjdi Ali Muhammad serta budayawan dan wartawan senior Aceh, Fikar W. Eda.
Dari amatan acehkita.com, tampak juga hadir dalam pelantikan pengurus Kompa Jaya Ketua Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda Jakarta, T. Safli Didoh, Wakil Ketua MPR RI, A. Farhan Hamid beserta beberapa tokoh masyarakat Aceh lainnya di Jakarta.[]
http://www.acehkita.com/berita/syiar-islam-di-aceh-makin-pudar/

Mereka Itu Bernama Kompa Jaya

14 June, 2011

i
1 Vote
Quantcast
Oleh Aulia Fitri
JAM sudah menunjukkan pukul 9.30 WIB, hilir mudik panitia berbaju putih les biru semakin ramai. Ada yang menyambut tamu, ada pula yang mengurus persiapan lainnya yang masih kurang.
Inisiator KOMPA JAYA
Pembacaan Ikrar oleh Inisiator Kompa Jaya/Foto: Dok. Panitia
Saya beserta teman-teman mahasiswa Aceh lainnya dari Depok, tepatnya hari Sabtu (11/6) lalu datang ke museum Juang 45 dalam rangka berakhir pekan sekaligus menghadiri sebuah acara pembentukan komunitas mahasiswa Aceh yang baru, nama yang saya dengar waktu itu Kompa Jaya.
Sebuah gedung lama dan bercorak Belanda menyambut kami, bertuliskan “Gedung Joang ’45 Menteng 31″ dengan iringan lagu keroncong asli Jakarta. Saya pun berpikir ada apa ini, acara orang Aceh kenapa lagu keroncong malah yang ada menghiasi acara tersebut. Kenapa bukan Nyawong atau Kande beserta Rafly.
Ternyata tidak lama kami melangkah di depan gedung, seorang panitia langsung menyambut kami dan menunjukkan tempat acara berlangsung yang dimaksudkan tadi. Saya pun baru tahu ternyata gedung juang diakhir pekan memang selalu ada aktivitas untuk kunjungan-kunjungan dari siswa/i atau pelajar ke museum, maka dari itu gedung utama paling depan plus dengan onde-onde dan iringan lagu keroncong selalu ada.
Lagi-lagi, but ureueng Aceh teulat sepertinya tidak di Aceh maupun di Jakarta tetap saja sama. Melihat agenda acara sebenarnya jam 9 sudah dimulai seperti yang tertera dalam undangan, namun sudah beranjak puluk 10 juga belum ada gerangan untuk dimulainya acara.
Tidak lama kemudian, akhirnya tamu undangan yang sudah mulai memadati sekitar puluhan orang langsung disuruh ambil posisi di depan. Berbagai kalangan media, tamu-tamu dari berbagai instansi dan perguruan tinggi di Jakarta juga memadati ruangan lantai tiga gedung juang.
MC pun memulai acara, berbagai serahan dan kata sambutan dari Ketua Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda, T. Syafli Didoh serta Anggota DPD RI, Abdurrahman BTN serta yang terakhir sebagai keynote speaker yang juga turut hadir Wakil Ketua Anggota DPR RI, A. Farhan Hamid.
Peserta
Mahasiswa Aceh dari berbagai kampus di Jakarta/Foto Dok. Panitia
Bersamaan dengan seluruh kata-kata sambutan selesai, ikrar deklarasi pun dilanjutkan. Denni Arie Mahesa, Harianto Arby, Wahidin, Cut Milla dan Mawardi merupakan inisiator penggerak lahirnya Komunitas Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jakarta Raya (Kompa Jaya) tampak berada di meja depan untuk membaca orasi.
Penandatangan nota deklarasi Kompa Jaya pun turut disaksikan oleh beberapa petua Aceh seperti anggota DPR RI, M. Nasir Djamil, Abdurrahman BTN serta T. Syafli Didoh. Berselang prosesi peusijuk seperti pada biasanya juga melengkapi acara tersebut.
Jelang ishoma pun datang, sekitar jam 14.00 WIB acara selanjutnya dalam rangkaian seminar pun dimulai, tema yang diangkat kali ini pun cukup klasik yakni “Penerapan Syari’at Islam ditinjau dari Persepektif Budaya dan Hukum Nasional”, turut hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut Pakar Hukum Pidana asal Aceh, T. Nasrullah, Kadis Syari’at Islam Aceh, Rusdji Ali Muhammad serta budayawan sekaligus wartawan Serambi Indonesia, Fikar W. Eda.
Seminar yang berlangsung hampir sekitar 90 menit ini memang mengetengahkan isu dan perihal sisi penerapaan syari’at yang selama ini diberlakukan di Aceh. Sebagai pengetengah tema pada waktu itu, Rusdji Ali memaparkan banyak hal tentang syari’at Islam di Aceh serta pengaruh modal sosial dan budaya masyarakat yang semakin beragam serta banyaknya penyimpangan yang terjadi diluar tradisi pemikiran yang sudah ada sejak dulu.
Rusdji mengatakan, tradisi pemikiran intelektual Aceh yang sudah ada dari jaman Hamzah Fansuri sampai ke masa Jalaluddin At Tarusany sudah banyak hilang di Aceh sekarang ini. Orang Aceh saat ini banyak menganut nilai kerja keras, namun dalam implementasi dan nilai-nilai ke-Aceh-an cukup berbeda, seperti kata hadih madja “Meu han ta hayon ngon ta antok, dalam bak jok han teubiet nira. Meu ta tem hayon ngon ta antok lam bak seumantok ji teubiet gula”, dimana ini menjelaskan semangat dalam bekerja keras harus dibarengi dengan usaha untuk bisa menikmati hasilnya tidak hanya cukup kata ingin dan niat.
Yang menarik dari apa yang disampaikan Rusdji juga menyangkut kearifan lokal di Aceh yang sedikit demi sedikit terkikis oleh budaya modern seiring dengan keterbukaan publik, hal ini juga salah satunya menyebabkan budaya hedonisme dan materialisme kian mencuat. Belum lagi dari kultur berbahasa, saat ini banyak anak Aceh yang tidak bisa berbahasa Aceh dan SDM perempuan Aceh terpinggirkan.
Sementara itu, T. Nasrullah menilai penyebaran syiar Islam di Aceh mulai berkurang. Ditambah lagi dengan tidak maksimalnya pelaksanaan syariat Islam di provinsi bekas konflik itu.
Berkurangnya syiar Islam, menurut Nasrullah, karena hampir 30 tahun masyarakat Aceh hidup dalam kondisi konflik. Syiar Islam yang menurut Nasrullah mulai memudar seperti pengajian dan salat berjamaah di meunasah.
Dari sisi budayawan,  Fikar juga menilai berbagai kultur seni dan budaya yang terjadi di Aceh bersumber pada agama. Seperti banyaknya ulama-ulama Aceh yang dan penyair mengadopsi ritme-ritme dalam setiap hikayat bernafaskan nilai-nilai syari’at Islam. Tidak hanya itu, beberapa alunan dan paduan hikayat-hikayat Aceh juga mengadopsi bunyi-bunyi akhiran dari ayat-ayat Al-Qur’an secara dinamis.
Fikar juga sedikitnya mengkritik tema dari seminar, dimana budaya bukan memberikan persepektif terhadap agama. Namun, sebaliknya agamalah yang memberikan pandangan pada budaya yang ada. Sebut saja contohnya, Khadafi asal Sibreh Aceh melaksanakan kewajiban shalat dengan Khadafi di Timur Tengah tetap sama karena bersumber pada ajaran Allah, tapi budaya Khadafi di Aceh dan di Timur Tengah tentunya beda karena budaya lahir dari pemikiran dan tindakan manusia-manusia, sehingga membedakan dengan agama yang diturunkan Allah lewat nabi dan rasul-rasulNYA untuk umat.
Demikianlah rangkaian seminar yang saya tangkap, di kesempatan lainnya saya juga sempat menanyakan kesiapan panitia acara, Muammar Khadafi dalam pelaksanaan acara perdana tersebut. Muammar mengaku telah mengkoordinasikan dengan baik dalam mengatur berbagai keperluan hari H, “namun yang terjadi hari ini setidaknya bisa menjadi masukan ke acara-acara mendatang, seperti kekurangan konsumsi untuk panitia sendiri yang salah komunikasi,” ungkap di sela-sela akhir acara.
Akhirnya, saya pribadi berserta komunitas SAMAN UI mengucapkan selamat atas terbentuk Kompa Jaya, tetaplah tangguh dengan menghadapi keadaan dan berilah kontribusi pada Aceh yang lebih baik kedepannya. Eratlah persaudaraan dengan elemen-elemen lain di Jakarta, IMPAS Jakarta, IMAPA Jakarta, LISUMA Jakarta dan berbagai komunitas serta organisasi Aceh lainnya.
Berbeda dalam cara dan menyumbangkan sumbangsih untuk Aceh tidak masalah, namun tujuan yang mulia lewat berbagai “kenderaan” organisasi setidaknya memberikan akserasi yang sama untuk Aceh yang lebih baik.
“Kalian (baca: Kompa Jaya) belum ada apa-apanya sekarang ini, belum ada nilai jual, tapi suatu saat jika kalian mampu dengan segala pencapaian yang ada bisa membuat orang-orang akan datang melirik kalian,” ungkap Nasrullah diakhir-akhir seminar. Nah, semoga kalimat-kalimat itu bisa menjadi salah satu landasan untuk terus  berpacu dalam kebaikan tentunya bagi Aceh. Sekali lagi selamat dan sukses untuk Kompa Jaya.[]
http://samanui.wordpress.com/2011/06/14/mereka-itu-bernama-kompa-jaya/#more-2889

Komunitas Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jakarta Raya

KOMPA JAYA
Deklarasi dan Pelantikan Komunitas Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jakarta Raya (KOMPA Jaya) di Gedung Juang 45 bilangan Jakarta Pusat, Sabtu (11/6). KOMPA Jaya merupakan wadah dan kumpulan mahasiswa dan pemuda di Jakarta dari berbagai elemen kampus se-Jakarta. (Seputar Aceh/Aulia Fitri)
http://seputaraceh.com/2011/06/12/komunitas-mahasiswa-dan-pemuda-aceh-jakarta-raya



Wed, May 4th 2011, 15:48

Tuntut Pengesahan KKR, Mahasiswa Demo ke DPRK

LHOKSEUMAWE - Ratusan mahasiswa dari sejumlah kampus di wilayah Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Bireuen, bersama sejumlah elemen sipil dan korban tragedi simpang KKA, Rabu (4/5/2011), berunjuk rasa ke gedung DPRK Aceh Utara. Mereka menuntut supaya Rancangan Qanun (Raqan) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), segera disahkan untuk mengungkap kasus pelanggaran hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Aceh.
Masing Masing, adalah K2HAU, KontraS Aceh, ICTJ, LBH Banda Aceh, LBH Apik, LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe, Jari Aceh, Koalisi NGO’s HAM, Rawi sepakat, PB HAM Aceh Utara, EPC Atjeh, Bytra, MaTA, LPl-Ha, ACH, SKS, SAHARA, FKMA, Gempa, Simak Unimus, HMI Lhokseumawe, BEM STAIN, BEM Politeknik Lhokseumawe, BEM dan SMUR Unimal, BEM STIKes, PEMA Unimus, BEM FISIP dan BEM FKIP UNIMUS, serta BEM Stie Lhokseumawe.
Selain membawa spanduk yang bertuliskan nama lembaga dan tuntutan segera disahkan KKR. Para pendemo juga membawa sejumlah poster yang bertuliskan diantaranya, ’Segera sahkan KKR’, KKR harga mati, suara rakyat adalah suara Tuhan.(jafaruddin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar